CERITA RARA MENDHUT
Dulu,
pada pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya pada daerah Pati, Jawa Tengah,
tersebutlah salah satu desa nelayan dengan nama Teluk Cikal. Desa tersebut
termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Pati yang diperintah sama Adipati Pragolo
II. Kadipaten Pati sendiri adalah salah satu wilayah taklukan dari Kesultanan
Mataram yang dipimpin sama Sultan Agung.
Di
Teluk Cikal, hidup satu orang gadis anak nelayan punya nama Rara Mendut. Dia
salah satu gadis yang cantik serta rupawan. Rara Mendut pun dikenal jadi seorang
gadis yang teguh pendirian. Dia tak sungkan-sungkan menolak para lelaki yang
datang melamarnya karena dia telah mempunyai calon suami, yaitu satu orang
pemuda desa yang tampan dengan nama Pranacitra, putra Nyai Singabarong, salah
satu saudagar kaya-raya.
Suatu
ketika, berita mengenai kecantikan serta kemolekan Rara Mendut terdengar oleh
Adipati Pragolo II. Penguasa Kadipaten Pati tersebut pun bermaksud
menjadikannya jadi selir. Sudah berkali-kali dia membujuknya, akan tetapi Rara
Mendut tetap menolak. Merasa dikecewakan, Adipati Pragolo II menyuruh beberapa
pengawalnya buat menculik Rara Mendut.
Hari
itulah, saat Rara Mendut lagi asyik menjemur ikan di pantai seorang diri,
datanglah suruhan Adipati Progolo.
Ayo
gadis cantik, ikut kami menuju keraton! seru para pengawal tersebut sambil
menarik kedua tangan Rara Mendut dengan kasar.
Lepaskan,
aku! teriak Rara Mendut seraya meronta-ronta, Aku tak mau jadi selir
Adipati Pragolo. Aku telah memiliki kekasih!
Para
pengawal tersebut tak peduli dengan rengekan Rara Mendut. Mereka terus-menerus
menyeret gadis tersebut naik ke kuda kemudian membawanya menuju keraton. Jadi
calon selir, Rara Mendut dipingit berada di dalam Puri Kadipaten Pati di bawah
asuhan salah satu dayang bernama Ni Semangka dengan dibantu sama salah satu
dayang yang lebih muda dengan nama Genduk Duku.
Sementara
Rara Mendut dalam masa pingitan, di Kadipaten Pati lagi berlangsung gejolak.
Sultan Agung menuding Adipati Pragolo II menjadi pemberontak dikarenakan tak
mau membayar upeti terhadap Kesultanan Mataram. Sultan Agung pun memimpin
langsung penyerangan menuju Kadipaten Pati.
Menurut
cerita, Sultan Agung tak bisa melukai Adipati Pragolo II dikarenakan penguasa
Pati tersebut mengenakan kere waja (baju zirah) yang tak mempan senjata apapun.
Melihat hal tersebut, abdi pemegang payung sang Sultan yang punya nama Ki
Nayadarma kemudian berkata,
Ampun,
Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang melawan Adipati Pragolo! pinta Ki
Nayadarma sambil memberi sembah.
Baiklah,
Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini! kata sang Sultan.
Berbekal
tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma lantas menyerang Adipati Pragolo II.
Akan tetapi, serangannya masih mampu ditepis sama Adipati Pragolo II. Saat
Adipati tersebut lengah, Ki Nayadarma dengan cepat menikamkan pusaka Baru
Klinting sampai bagian tubuh sang Adipati yang tak terlindungi sama baju zirah.
Adipati Pragolo II pun meninggal seketika.
Sementara
itu, para prajurit yang dikomandani panglima perang Mataram, Tumenggung
Wiraguna, lekas merampas harta kekayaan Kadipaten Pati, termasuk Rara Mendut.
Tumenggung Wiraguna lantas terpesona tatkala memandang kecantikan Rara Mendut.
Dia pun memboyong Rara Mendut menuju Mataram buat dijadikan selirnya.
Tumenggung
Wiraguna berkali-kali merayu Rara Mendut guna dijadikan selir, akan tetapi
selalu ditolak. Sampai-sampai, di hadapan panglima tersebut, dirinya berani
terang-terangan menerangkan bahwa dirinya sudah mempunyai kekasih dengan nama
Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang keras kepala tersebut membikin Tumenggung
Wiraguna murka.
Baiklah,
Rara Mendut. Jikalau kamu tak ingin jadi selirku, maka untuk gantinya kamu
wajib membayar pajak terhadap Mataram! ancam Tumenggung Wiraguna.
Rara
Mendut tak gentar mendengar ancaman tersebut. Ia lebih memilih membayar pajak
daripada mesti jadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam
pengawasan prajurit Mataram, Rara Mendut lalu meminta izin buat berdagang rokok
di pasar. Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya. Rupanya, dagangan rokoknya
laku keras, bahkan, orang pun beramai-ramai membeli puntung rokok bekas isapan
Rara Mendut.
Satu
hari, pada saat lagi berjualan di pasar, Rara Mendut berjumpa sama Pranacitra
yang sengaja datang mencari kekasihnya tersebut. Pranacitra berupaya mencari
jalan buat bisa melarikan Rara Mendut dari Mataram.
Setiba
pada istana, Rara Mendut menerangkan tentang pertemuannya sama Pranacitra
terhadap Putri Arumardi, salah seorang selir Wiraguna, dengan harapan bisa
membantunya keluar dari istana. Rara Mendut mengetahui persis jikalau Putri
Arumardi tak setuju jikalau Wiraguna menambah selir kembali.
Putri
Arumardi serta selir Wiraguna lainnya yang dengan nama Nyai Ajeng menyusun
siasat buat mengeluarkan Rara Mendut menuju luar dari istana. Bersama dengan
Pranacitra, Rara Mendut berupaya buat kembali menuju kampung halamannya pada
Kadipaten Pati.
Akan
tetapi sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut sama Pranacitra diketahui sama
Wiraguna. Pasangan tersebut akhirnya berhasil ditemukan sama para prajurit
Wiraguna. Rara Mendut pun dibawa lagi menuju Mataram, sedangkan secara
diam-diam, Wiraguna memerintah abdi kepercayaannya buat menghabisi nyawa
Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara Mendut tersebut tewas serta dikuburkan di
salah satu hutan terpencil yang ada di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang
lebih 9 kilometer sebelah timur Kota Yogyakarta.
Sepeninggal
Pranacitra, Tumenggung Wiraguna lagi-lagi merayu Rara Mendut supaya berkenan
jadi selirnya. Akan tetapi, usahanya tetap sia-sia, gadis cantik tersebut tetap
menolak. Sang Panglima pun tak kehabisan akal. Dia lalu menceritakan mengenai
kematian Pranacitra terhadap Rara Mendut.
Sudahlah,
Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah sama Pranacitra, ujar Tumenggung
Wiraguna.
Apa
maksud, Tuan? tanya Rara Mendut tiba-tiba cemas.
Pemuda
yang engkau kasihi tersebut telah tiada, jawab Tumenggung Wiraguna.
Kanda
Pranacitra tiada? Ah, itu tak mungkin terjadi. Aku baru saja berjumpa dengannya
kemarin, kata Rara Mendut tidak percaya.
Jika
engkau tak percaya, ikutlah bersamaku, bakal kutunjukkan kuburnya, ujar
Tumenggung Wiraguna.
Rara
Mendut pun menurut buat membuktikan omongan Tumenggung Wiraguna. Betapa
terkejutnya Rara Mendut ketika sampai pada tempat Pranacitra dikuburkan. Dia
berteriak histeris pada hadapan makam kekasihnya.
Kanda,
jangan tinggalkan Dinda! tangis Rara Mendut.
Sudahlah,
Mendut! Tidak ada lagi gunanya meratapi orang yang telah mati, ujar
Wiraguna, Ayo, kita tinggalkan tempat ini!
Rara
Mendut kemudian bangkit lalu mengikuti Tumenggung Wiraguna seraya terus
menangis. Belum jauh mereka meninggalkan tempat pemakaman tersebut, Rara Mendut
kemudian murka serta mengancam berkenaan melaporkan perbuatan Wiraguna terhadap
Raja Mataram, Sultan Agung.
Tuan
jahat sekali. kelakuan Tuan bakal kulaporkan pada Raja Mataram supaya
memperoleh hukuman yang setimpal! ancam Rara Mendut.
Seketika,
Tumenggung Wiraguna jadi begitu marah. Dia lalu menarik tangan Rara Mendut buat
dibawa pulang menuju rumahnya. Akan tetapi, gadis tersebut menolak serta
meronta-ronta buat melepaskan diri. Begitu tangannya terlepas, dia menarik
keris kepunyaan Tumenggung Wiraguna yang terselip pada pinggangnya. Rara Mendut
lalu berlari menuju makam kekasihnya. Panglima itu pun berupaya mengejarnya.
Berhenti,
Mendut! teriaknya.
Setiba
pada makam Pranacitra, Rara Mendut berniat buat bunuh diri.
Jangan,
Mendut! Jangan lakukan itu! teriak Tumenggung Wiraguna yang baru saja
sampai.
Akan
tetapi, semuanya telah terlambat. Rara Mendut sudah menikam perutnya dengan
keris yang dibawanya. Tubuhnya pun lantas roboh selanjutnya tewas di samping
makam kekasihnya. Melihat peristiwa tersebut, Tumenggung Wiraguna merasa amat
menyesal atas perbuatannya.
Oh,
Tuhan. Sekiranya aku tak memaksanya jadi selirku, tentu Rara Mendut tak bakal
nekad bunuh diri,sesal Tumenggung Wiraguna.
Penyesalan
tersebut tidak ada gunanya dikarenakan semuanya telah terjadi. Buat menebus
kesalahannya, Tumenggung Wiraguna memakamkan Rara Mendut satu liang sama
Pranacitra. Begitulah cerita perjuangan Rara Mendut untuk mempertahankan harga
diri serta kesetiaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar