I.1 Asal-Usul Kata Wayang
Kata wayang (bahasa
Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan; seperti halnya
kata watu dan batu, yang berarti batu dan kata wuri dan buri, yang berarti
belakang. Bunyi b dilambangkan dangan huruf b dan w pada kata yang pertama
dengan yang kedua tidak mengakibatkan perubahan makna pada kedua kata tersebut.
G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan ,
dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar,
menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau
menerawang. Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang
berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang,
dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti
selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari
kata asal: poyang, akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata
yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti
dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap,
melayang,
Pengertian
bayang-bayang/bayangan yang lain untuk menerangkan kata dan makna wayang itu
dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang
sedang berdiri atau duduk di suatu tempat, kemudian ia diterpa cahaya matahari
yang mengenai badan orang itu, maka orang itu menghasilkan bayangan. Bayangan
inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja
panjang-pendeknya ayang-ayang tersebut sangat bergantung pada sudut posisi
matahari. Apabila matahari dalam posisi rendah, maka bayangan orang itu menjadi
panjang, dan apabila sudut matahari tinggi, bayangan semakin pendek.
Terdapat pula kata yang
berhubungan dengan kata ayang, yaitu ngayang. Ngayang (Bahasa Jawa), artinya
seseorang dalam keadaan melengkungkan badannya kebekakang dengan posisi kepala
meilhat kebelakang; atau hanya sampai pada melihat dan memeperhatikan langit,
angkasa atau 'atas'. Sehingga apabila dikaitkan dengan pengertian wayang dalam
konteks hyang, yang berarti roh melayang-layang di angkasa atau keatas, maka
kata ngayang tersebut ada relevansinya. Hanya saja kata ngayang biasanya
dipergunakan dalam konteks permainan maupun olah raga (permainan tersebut
dinamakan brok atau sawah-sawahan; suatu permainan anak-anak di Jawa yang
sangat populer dengan mempergunakan pecahan genteng sebagai gacuk (alat yang
dilemparkan oleh si pemain); sedangkan dalam olah raga biasanya salah satu
gerakan senam).
Pengertian-pengertian wayang
di atas lebih beroriantasi pada seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan
pada efek yang dihasilkan pada suatu boneka atau sejenisnya setelah benda
tersebut dikenal/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah lampu
(blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari bayangan yang
dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layar(kelir), yang akhirnya
menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang layer (dibalik kelir). Bila
demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang pertama, bayangan di depan
layer terjadi apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layer dan mendekati
blencong, maka bayangan akan membesar baik didepan atau di belakang layer.
SEJARAH WAYANG
II.1. Wayang dalam karya sastra
Wayang dalam bentuk karya
tertulis banyak jumlahnya. Apabila ditelusuri secara diakronis, maka cerita
dengan lakon wayang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan karya sastra wayang
itu sendiri. Tokoh wayang yang sekarang dikenal oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia, terutama Jawa, tidak terpisahkan dari epos tanah Hindu(India),
terutama Ramayana dan Mahabharata dan perbedaannya dengan yang terdapat di
Indonesia, namun ditinjau dari persamaan nama tokoh, maka hal itu tidak dapat
dipisahkan (kerangka pemikiran histories), meskipun mengalami sedikit perubahan
(transformasi budaya).
Lakon-lakon yang
dipentaskan di dalam pertunjukkan wayang tidak secara langsung mengambil dari
cerita-cerita yang bersumber dari India (berbahasa Sansekerta) maupun Jawa
Kuno, tetapi menyajikan lakon-lakon wayang yang sudah diciptakan dan digubah
oleh para pujangga (sastrawan) Jawa pada 'jaman Jawa baru', seperti kitab
Pustaka Raja Purwa (gagrag Surakarta) dan Serat Kandaning Ringgit Purwa (gagrag
Yogyakarta). Paling tidak dari dua sumber tersebut lakon-lakon wayang kemudian
diciptakan tersebut dapat dibentuk dalam dua lakon besar, yaitu lakon
pokok/baku/lajer/pakem dan lakon carangan. Lakon Pakem yaitu lakon yang sudah
dibukukan (serat pakem tuntungan pedalangan), sudah diturunkan selama lebih
dari dua generasi dan sudah banyak dipentaskan oleh banyak dalang lakon
carangan (carang=ranting); ibarat pohon merupakan cabang-cabang dari pohon inti
(batang); yaitu lakon yang belum dibukukan, belum diturunkan lebih dari dua
generasi dan belum dipentaskan oleh banyak dalang. Adapun pengertian lakon
pakem terbagi menjadi dua bagian, yaitu: lakon pakem belungan dan lakon paken
jangkep. Lakon balungan ialah lakon yang memuat pokok/inti cerita dan
mengandung urutan pengadegan. Sedangkan lakon pakem jangkep yaitu lakon yang
memuat seluruh/hamper seluruh unsure-unsur didalam pertunjukan wayang, yang
biasanya erat menggunakan judul serat pakem tuntunan pedhalangan (sedalu
muput). Ki Siswoharsojo menuolis beberapa lakon wayang yang dijadikan patokan
(lakon pakem) oleh para calon dalang maupun para dalang, antara lain: Wahyu
Makutharama dan Wahyu Purbasejati; Ki Nojowirongko menggubah buku akem
pedalangan Lempahan Irawan Rabi/pernikahan Irawan (berisi mengenai patokan
mendalang dan lakon pernikahan Irawan itu sendiri). Sedangkan untuk lakon
balungan sebagi contoh yaitu: Pakem Ringgit Purwo Lampahan Laripun Romo –
Brubuh Ngalangka, yang disusun oleh Ki S. Soetarsa. Lakon carangan yang pernah
dipentaskan oleh beberapa dalang yaitu Petruk Kelangan Pathel dan Bagong Sunat.
Wayang yang termuat di
dalam suatu karya sastra dapat pula sebagai sumber informasi mengenai
pertunjukkan wayang (permainan bayang-bayang), bukan mengenai cerita atau lakon
wayang itu sendiri. Sebagai contoh: di dalam Arjunawiwaha Kakawin karya Empu
Kanwa, pada jaman Airlangga di Jawa Timur (950 Saka=IX sesudah Masehi), masa
kediri, disebutkan mengenai seseorang menonton wayang menangis sedih, bodoh
sekali ia, padahal sudah tahu yang disaksikan itu adalah kulit yang ditatah,
kata orang ia terkena gaya gaib.
II.2 Wayang dalam prasasti dan relief candi
Pada masa purba
Indonesia, informasi mengenai suatu berita dapat ditulis pada prasasti.
Prasasti dapat berupa tonggak batu maupun lempengan tembaga. Sebagai contoh:
prasasti Mulawarman dari Kutei, bertulisan Pallawa sekitar tahun 400M,
berbentuk yupa (sebuah tugu peringatan upacara kurban), berbahasa Sansekerta
dan tersusun dalam bentuk syair. (Soekmono, 1991:53). Prasasti dapat dipandang
sebagai benda yang bernilai sejarah. Dari prasasti itu dapat ditelusuri keterangan-keterangan
mengenai suatu berita atau cerita pada masa lampau. Dari prasasti itu pula
dapat dideteksi mengenai latar belakang/orientasi pemikiran masyarakat pada
waktu itu. Sebagai contoh adanya pemikiran religius Jawa Kuna, yang salah
satunya dalah menyembah dan menganggungkan dewa-dewa, seperti kepada dewa
Wisnu, Brahma, dan Siwa.
Beberapa prasasti telah
membuktikan bahwa pertunjukkan wayang telah ada pada jaman kuna. Misalnya empat
lempengan tembaga yang di temukan di Bali. Lempengan ini berangka tahun 980
Saka (1058 M) dan isinya telah disalain oleh Van Der Tuuk dan Dr. Brandes.
Lempengan ini menyebutkan kata ringgit. Kata ringgit hingga saat ini masih
dipergunakan sebagai sinonim dari kata wayang. Dengan demikian penggunaan kata
ringgit untuk pengertian wayang telah sangat tua. Lebih lanjut Hazeu mengatakan
lempengan berangka tahun 782 Saka yang diterbitkan dan di terangkan oleh Prof.
Kern terdapat istilah juru barata. Istilah tersebut berarti orang yagn
memainkan teater atau lelucon atau dalang. (1979: 45). Kecuali itu did ala
mlempengan yang memuat kata kawi yang diterbitkan oleh Cohen Stuart,
dibicarakan tentang juru banyol dan aringgit, abanyol. Lempenan ini berangka
762 Saka, meskipun didalam prasasti (lempengan logam) berulang kali disebutkan
kata ringgit namun dengan menyebutkan secara berdiri sendiri, kirany sulit untk
membuat kesimpulan, sementara itu sejak abad IX setelah masehi, sekalipun dalam
keadaan yang sangat kuna, di Jawa sudah ada pertunjukkan teater bayang-bayang
tersebut diduga merupakan asal pertunjukkan wayang yang kita kenal sekarang.
Keterangan mengenai
wayang juga ditemukan pada relief candi; berupa gambar atau visualisasi
tokoh-tokoh wayang yang dipahat pada dinding-dingdingnya. Apabila kita
beranggapan bahwa wayang berasala dari gambar-gamabr relief candi, maka dugaan
yang dikemukakan adanya usaha orang jaman dulu untuk mengutip gambar pada
relief tersebut agar dapat digulung, dan dapat dibawa kemana-mana sehingga
dapat dipentaskan atau dipergelarkan. Dugaan tersebut terbukti dengan banyaknya
candi yang memuat cerita wayang, misalnya: relief di Candi Prambanan, candi
Jago, candi Panatara. Pada candi-candi tersebut didapatkan stilisasi
tokoh-tokoh dalam relief yang tidak serupa dengan wayang kulit Purwa (Jawa) tetapi
mirip dengan adanya wayang dari kertas yang dapat digulung dan digelar,
terkenal dengan nama wayang beber yang masih tumbuh dan berkembang didaerah
Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan di Jawa Timur. Sesuai dengan evolusi bentuk
stilisasi yang mengilhaminya, maka seyogyanya yang diambil sebagai pola ialah
perkembangan terakhir. Disamping itu pada candi Panataran terdapat dua gaya
relief, yaitu gaya yang dekat dengan berntuk-bentuk alam, seperti yang terdapat
pada cerita Kresnayana dan gaya dekoratif mirip wayang yang terdapat pada
panil-panil relief Ramayana. Dengan demikian nampak bahwa tidak benar suatu
anggapan yang memandang gaya realistic pada relief candi Panataran kemudian
berangsur-angsur berubah menjadi dekoratif seperti yang terdapat pada candi-candi
di Jawa Timur yang lebih tua usianya. Kemudian pada candi Jago, terdapat
tradisi untuk membatasi adegan-adegan dala mrelief dengan menggunakan
gunungan-gunungan atau kayon seperti yang terdapat pada pertunjukan wayang
kulit. Ini rupa-rupanya terpengaruh pekeliran wayang kulit yang selalu
mengawali dan mengakhiri adegan-adegannya dengan cara menancapkan gunungan di
tengah layer. Tanpa pengaruh ini kiranya mustahil orang sampiai pada pemilihan
gunungan atau kayon sebagai pembatas adegan dalam relief candi. Misalnya di
candi Surawana, pembatas adegannya ialah motif ikal bersambung yang dibuat
menegak memenuhi seluruh tinggi relief. Dengan demikian maka keteragnan tentang
wayang pun dapat ditemukan pada prasasti dan relief candi, disamping keterangan
mengenai wayang di dalam karya sastra.
II.3 Jenis-jenis wayang di Indonesia
Wayang yang tersebar di
seluruh Indonesia terdiri dari berbagai bentuk dan jenisnya. Bentuk dan jenis
wayang tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu berdasarkan:
1. Sumber ceritanya; 2. Bahan boneka atau sejenisnya; 3. Wilayah
kebudayaan(asal dan penyebarannya); 4. Bunyi (musik) instrument yang terdengar;
Bentuk pertunjukannya; 6. Fungsinya; dan 7. Bunyi benturan boneka wayang.
Pengklasifikasian ini cenderung berorientasi pada masalah penamaan atau
penyebutan wayang. L. Surruer telah mengadakan angket penelitian tentang
jenis-jenis wayang yang ada di pulau Jawa seperti yang disunting oleh Padam
Guritno; hasil penelitian itu diterbitkan berupa buku yang berjudul De Wayang
Poerwa; buku ini memuat jenis-jenis wayang yang dikenal di pulau Jawa,
diantaranya: wayang beber, gedhog, golek, jemblung, klithik, krucil,
langendria, lilingong, lumping, madya, pegon, purwa, purwara, sasak, topeng,
dan wayang wong. Namun rupa-rupanya penelitian ini belum mencakup semua jenis
dan bentuk wayang di Indonesia, sehingga perlu dilengkapi dan dikembangkan.
Perkembangan di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan
perwayangan dan pedalangan di Indonesia. Dengan adanya ilmu pengetahuan dan
teknologi itu para seniman dalang dapat menciptakan jenis-jenis wayang baru
sesuai dengan keinginannya. Seiring dengan hal itu maka pemikiran masyarakat
seniman, dalam hal ini para dalang juga turut berkembang. Pertumbuhan dan
perkembangan wayang yang dikaitkan pada penciptaan karya seni berorientasi pada
boneka wayang, pertunjukan wayang dan sastra wayang.
II.4 Pendukung dan perlengkapan pertunjukan
wayang
Pendukung seni
pertunjukan seni wayang ini terdiri paling tidak empat unsur, yaitu dalang,
nayaga, pesinden, wiraswara. Sedangakan perlengkapan seni pertunjukan wayang
dapat terdiri dari wayang, kelir, blencong, dobog, kotak wayng, cempala, kepyak
dan gamelan.
1. Dalang
Dalang dapat dikatakan
sebagai seniman utama dalam pertunjukan wayang. Ia sebagai pemimpin pertunjukan
(leading artist), sehingga ia dapat sebagai pusata perhatian penonton dalam
memeinkan wayang. Pada umunya dalang adalah pria, karena pekerjaan sebagai
dalang memang amat berat. Dalang dalam wayang harus duduk bersila semalam
suntuk, melaksanakan pertunjukan tersebut (yang dimainkannya), dan juga
memimpin lain-lain seniman-seniwati yang duduk dibelakangnya dengan aba-aba
tersamar, berupa wangsalan atau petunjuk sastra yang diselipkan dalam cariyos
atau narasinya, berupa gerak-gerik wayang. Nyanyian, dedogan, dan kepyakan.
Secara tradisional ada beberapa kelas dalang, yaitu: 1. mereka yang beru dapat
mendalang; 2. yang sudah pandai mendalang; 3. yang telah menguasai semua isi
pendalangan; 4. yang telah menguasai semua isi perdalangan; 5. dalang sejati
yang disamping telah menguasai semua isi pedalangan juga dapat memberi suri
tauladan kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seorang yang arif, bijaksana
dan patut dihormati.
2. Nayaga
Adalah sebutan bagi para
penabuh gamelan. Untuk mengiring pertunjukan wayang kulit purwa, nayaga itu
sedikitnya sepuluh orang untuk memainkan sedikitnya lima belas peralatan
gamelan. Nayaga biasanya pria. Yang menduduki tempat terpenting untuk mengiringi
pertunjukan wayang adalah penabuh kendang, karea biasanya ialah yang menangkap
isyarat atau perintah dari dalang, dan meneruskannya pada nayaga lain, terutama
untuk melirihkan atau mengeraskan bunyi gamelan, mempercepat atau memperlambat
irama gending, memulai dan menghentikannya. Dikalangan karawitan Jawa kini
dikenal juga nama lain bagi para nayaga yaitu pradangga, nama yang kita tahu
baru diperkenalkan sevcara luas setelah negara kita merdeka, meskipun istilah
itu sudah lama dikenal. Disamoing menabuh gamelan, para nayaga itu juga
kadang-kadang menyanyi dalam paduan suara pria yang dinamakan gerong.
3. Swarawati
Pesinden atau penyanyi wanita sudah lama dikenal
dikalangan seni di pulau Jawa. Namun sebagai seniwati yang mengiringi pagelaran
wayang purwa, mereka baru dikenal sekitar dasawarsa tiga puluhan abad ini,
sehingga mulai masa itu setiap pagelaran wayang purwa ada pesindennya. Dan
dianggap tidak wajar apabila pesindennya tidak ada. Jika para nayaga dinamakan
pradangga, maka para pesinden pun mendapat nama-nama baru yaitu waranggana,
widuwati atau swarawati.
4. Wiraswara
Wiraswara ialah seorang
atau beberapa orang laki-laki yang mempunyai peran melantunkan syair tertentu
untuk mengisi jalannya alunan gending. Pengertian wiraswar yaitu, wira =
perwira (berani/sakti/ampuh), swara = suara, jadi yang dimaksudkan wairaswara
ialah orang atau beberapa orang yang mempunyai "kesaktian" dalam hal
tarik suara. Dalam pertunjukan wayang posisi wiaraswara biasanya dibelakang
atau sejajar dengan swarawati.
5. Wayang
Satu kotak wayang kulit
purwa berisi sekitar 200 buah boneka atau wayang yang terbuat dari belulang
atau kulit kerbau, dan dapat juga terbuat dari kulit lembu (namun ini kurang
baik). Bagi para penggemar wayang berbeda, jumlah wayang-wayangnya dapat
berlipat dua atau lebih jumlah tersebut. Menurut buku-buku, koleksi wayang
kulit yang lengkap jumlanhya sekitar empat ratus buah.
6. Gamelan
Alat musik tradisional
ini kebanyakan adalah instrument pukul yang kebanyakan terbuat dari perunggu
yang berkualitas baik atau juga dari besi. Berbagai jenis gamelan yang saat ini
digunakan untuk mengiringi pagelaran wayang adalah kendang (besar,sedang, kecil
atau ketipung), rebab (instrument gesek atau cordophone), gender (dapat dua buah)
demung (semacam gender besar), gambang (instrument pukul dari kayu), suling
(satu-satunya instrument tiup), siter (cordophone), kempyang atau kemong
(tergantung laras gamelannya), kethuk, kempul, saron (dua buah), saron kecil
(peking), saron besar (slenthem), boning (dapat dua buah) dan gong.
7. Kelir
Yang dimaksud dengan panggung dimuka adalah
bagian kelir atau layer di depan dalang yang lebarnya sekitar 160 cm. kelir itu
dibuat dari kain katun berwarna putih. Pinggiran bagian atas dinamakan
pelangitan yang menunjukan langit atau angkasa, dengan lebar layar yang lebih,
demikian pula bagian pinggir kiri dan kanan yang fungsinya sebagai hiasan.
8. Blencong
Adalah nama lampu minya
kelapayang digunakan dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Lampu ini terbuat
dari logam atau perunggu, biasanya bentuknya menyerupai burung dengan ekornya
berfungsi sebgai reflector. Sebagai sumbu lampu minyak itu dinamakan lawe,
yaitu benang-benang kapas yang keluar dari paruh burung yang menyerupai garuda.
9. Dhebog
9. Dhebog
Untuk pertunjukan wayang
purwa biasanya diperlukan tiga batang pisang yang cukup panjang, dari jenis
pisang yang padat batangnya. Dhebog atas merupakan bagian pentas untuk
menancapkan tokoh-tokoh wayang yang berstatus tinggi. Dhebog atas disebut
pamedan sedang dhebog bawah disebut paseban. Adapun status yang menentukan
apakah seorang tokoh wayang berdiri atau duduk (dari sisi bayangan) adalah
berdasarkan pangkat, usia atau kedudukannya dalam keluarga.
10. Kothak
10. Kothak
Adalah peti wayang yang terbuat
dari kayu, namun kayu yang terbaik adalah dari kayu nangka, ukuran biasanya
panjang 150 cm, lebar 75 cm, dan tinggi termasuk tutupnya 55 cm, sedang tebal
papan kayu yang digunakan untuk membuat kothak itu kira-kira 2 cm. pada waktu
pertunjukan kothak itu ditempatkan di sebalah kiri dalang, membujur kearah
kelir.
11. Cempala
Dua buah cempala
digunakan dalam pertunjukan wayang purwa. Cempala besar dubuat dari kayu jenis
keras, biasanya kayu jait, cempala besar ini biasanya dipegang tangan kiri dalangdan
diketuk-ketukan pada bagian dalam kotak yang dekat padanya dimana perlu.
Cempala kecil terbuat dari logam berukuran separuh cempala besar. Dalam
pertunjukan , cempala ini dijepit empujari kaki kanan dalang dan jari kaki
sebelahnya.
12. Kepyak
Alat yang disebut kepyak
(Surakarta-Yogyakarta) atau kecrek (Banyumas) itu bentuk dan bahan-bahan
pembuatannya dapat berbeda-beda, meskipun fungsinya sama, yaitu mirip dengan
cempala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar