Minggu, 04 Januari 2015

TRADISI “ MITONI”


Bagi orang Jawa, mengadakan upacara tradisional adalah untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya,supaya eling marang purwa daksina.Adat istiadat tradisional Jawa dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ketentraman hidup lahir dan batin. Tradisi kebatinan orang jawa itu bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya daerah. Oleh karena itu, orientasi kehidupan rohani orang jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya. Disamping itu, upacara tradisional dilakukan orang jawa dalam rangka memperoleh solidaritas sosia,l lila lan legawa kanggo mulyaning negara. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kerja kolektif yang tercermin dalam ungkapan gotong royong nyambut gawe. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional itu memang dilaksanakan melibatkan banyak orang. Mereka melakukan ritual dengan dipimpin oleh para sesepuh dan pinisepuh masyarakat. Upacara tradisional juga berkaiatan dengan lingkunngan hidup.
Peranan upacara ( baik ritual maupun seremonial ) adalah untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan mereka. Dengan adanya upacara-upacara, warga suatu masyarakat bukan hanya selalu diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi karena upacara-upacara itu selalu dilakukan secra rutin. (menurut skala waktu tertentu). Sehingga beda antara yang bersifat imajinatif dan yang nyata ada menjadi kabur, dan upacar-upacara itu sendiri serta simbol-simbol sucinya bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari jangkauan kenyataan. Tetapi sebaliknya telah menjadi sebagian dari aspek kehidupan sehari-hari yang nyata. Dengan demikian upacara (slametan,misalnya) dapat dilihat sebagai aspek keagaamaan, yaitu sebagai arena dimana rumus-rumus yang berupa doktrin-doktrin agama berubah bentuk menjadi serangkaian metefor dan simbol. Disamping itu, upacara dapat juga dapat dilihat dalam perspektif sosiologi yang menekankan pada aspek kelakuan, yaitu sebagai sesuatu adat atau kebiasaan yang dilakukan secara tetap menurut waktu dan tempat tertentu dan untuk peristiwa atau keperluan tertentu.
Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh Harsja Bachtiar (1973) bahwa pada orang jawa di Suriname (1976) ia memperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya yang dinamakan Agana Jawa bukanlah agama pemujaan leluhur. Tetapi berintikan pada prinsip utama yang dinamakan sangkan paraning dumedi(dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia di masa kini dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya). Hakikat dari tindakan-tindakan keagamaan yang terwujud dalam betuk upacara adalah untuk mencapai tingkat selamat atau kesejahteraan, yaitu suatu keadaan ekuilibrium unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah tertentu. Tindakan-tindakan keagamaan ini berintikan pada azas saling menukar prestasi yang terwujudtuk persembahan pemberian sesuatu (biasanya makanan,minuman,,bunga,menyan) ke makhluk-makhluk halus tetentu dan sebagai imbalannya makhluk halus tersebut akan memberi prestasi sesuai dengan yang diinginkan oleh yang memberi persembahan.
Dari uraian diatas dapat kita lihat gambaran yang lebih jelas mengenai tradisi slametan orang jawa yang kali ini akan difokuskan pada tradisi mitoni . Upacara peralihan tahap (rites of passage) orang jawa menggambarkan sebuah busur, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur yang melingkungi keahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi pada khitanan dan perkawinan dan akhirnya upacara-upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan. Dalam keseluruhannya slametan menyediakan kerangka; apa yang berbeda adalah intensitas, suasana hati, dan kompleksitas simbolis khusus dari peristiwa itu. Upacara-upacara itu menekankan kesinambugan dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewatinya.
Pada masa kehamilan, pada umumnya, masyarakat jawa hanya melaksanakan upacara tradisi Ngaliman ( hamil lima bulan ) dan mitoni (hamil tujuh bulan). Upacara tradisi mitoni ini bertujuan menolak bala dan mohon keselamatan bagi anak yang sedang dikandung dan sang ibu yang sedang mengandung. Selain mitoni, tradisi ini juga disebut juga tingkeban.
Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Belum ada neptu atau weton(hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari selasa atau sabtu.  Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).


Perlengkapan upacara yang diperlukan adalah sebagai berikut :
*      Golongan Bangsawan : sajen : tumpeng robyong, tumpeng gundul, sekul asrep – asrepan, ayam hidup, satu buah kelapa, lima macam bubur, dan jajan pasar. Kenduri : nasi majemukan, tujuh pasang nasi, pecel ayam, sayur menir, ketan kolak, apem, nasi gurih, ingkung, nasi punar, ketupat, rujak, dan dawet, emping ketan, air bunga dan kelapa tabonan.
*      Golongan Rakyat Biasa : Sajen : sego jangan, jajan pasar, jenang abang putih, jenang baro – baro, emping ketan, tumpeng robyong, sego golong, sego liwet, dan bunga telon. Kenduri : sego gurih, sego ambengan, jajan pasar, ketan kolak, apem, pisang raja, sego jajanan, tujuh buah tumpeng, jenang, kembang boreh, dan kemenyan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar